Tentang Sepatu
Sore itu, entah pada tanggal dan jam berapa, yang jelas aku masih bayi yang baru bisa berjalan. Ibu memakaikanku sepatu.
Ilustrasi oleh: Mathoril Hudha |
Setelah beberapa tahun umurku aku ndolor(mengerti). Ibu menceritakan sepatu kecil itu, yang dulu aku kenakan, "nak, dulu ukuran kakimu sekecil ini," katanya sambil mengelap sepatu itu di sebelaku.
Ibuku mengatakan, sepatu itu dulu dibeli ayah sepulang kerja. Ayah senang sekali punya anak. Waktu itu ayah membelinya di pasar Kali Mawar, harganya 1000 perak. Itu harga yang mahal dan harus ditawar agar bisa dibeli. Waktu itu, penghasilan ayah pas-pasan sebagai guru apalagi di zaman krisis moneter era orde baru. Gaji seorang guru yang hanya cukup untuk membeli ban sepeda.
Aku mengaduk teh di depanku, "lalu bagaimana cara ayah mendapatkan sepatu itu?" tanyaku pada ibu.
"Ibu menggadaikan cincin ini nak," ibuku menunjukkan cincin di jarinya. Harga cincin ibuku waktu itu tergadai dengan harga murah hanya 200 perak, masih kurang untuk membeli sepatu ini.
Ibuku menghentikan mengelap sepatu, "Ayahmu dulu harus berutang dulu pada Pak Jar," entah mengapa, mata ibuku terlihat berkaca-kaca. Pada zaman orde baru, mendapatkan uang itu sulit. Pak Jar, dengan ikhlas meminjamkan uang begitu saja tanpa jaminan. Seolah-olah ia mengerti kondisi kami.
Ibuku mengemas sepatu itu dengan plastik, aku menyelanya, "lalu bagaimana ibu bisa mengambil lagi cincin di jari ibu?" bukankah waktu itu gaji ayah hanya 100 perak per bulan, sedangkan ibu tidak bekerja.
"Nak, kau pasti tak akan percaya ini," ibuku menghentikan sejenak aktivitasnya, kemudian memandangku. "Ibu sudah mengikhlaskan cincin itu setelah bertahun-tahun tidak bisa menebusnya," Tanpa sepengetahuan ibuku, ayah menabung sedikit demi sedikit dari gajinya untuk membelikan cincin ibu. Waktu itu aku juga belum tahu apa-apa, masih SD. Aku hanya suka sepatu baru, hadiah dapat rangking satu. Walau sebenarnya sepatuku sebelumnya belum rusak, aku memintanya lagi untuk gonta-ganti.
Ibuku menyentuh bahuku, "ketahuilah nak, ayah tidak seperti yang kau pikirkan," kata ibuku. Aku memang selalu saja beradu agumen dengan ayahku, yang terkadang membuatku emosi sehingga membenci ayah.
***
Mataku rasanya sembab, aku menguceknya. Aku meraih beberapa lembar tisu di meja kantorku untuk mengelap air mata. Aku terbangun oleh kenangan tentang sepatu kecil itu. Kenangan bersama ibuku dua tahun yang lalu tiba-tiba muncul dalam mimpiku.
Dua jam lalu aku tertidur pulas di meja kantor, setelah dua hari tidak tidur dan kelelahan mengurus penyelamatan perusahaanku yang hampir pailit. Mimpi tadi seolah menyadarkanku, aku terlalu mengejar dunia. Sehingga melupakan rumah sejatiku, akhirat.
Ponselku berbunyi, telepon dari sekretarisku. Aku mengabaikannya lebih memilih untuk bergegas menuju pemakaman menziarahi kubur kedua orang tuaku.
"Bukankah nanti aku juga seperti ini?" ujar benakku saat melihat kubur kedua orang tuaku. "Lalu mengapa aku mati-matian menipu orang-orang, mengejar tender dan rekayasa keuangan untuk menumpuk uang?," kata benakku.
Pada Jumat sore itu, aku menyadari, ada hal lain yang perlu dipikirkan, sedari kecil aku berbuat karena iming-iming dan imbalan. Padahal jika aku bekerja hanya mencari imbalan, orang hanya mengenangku sebagai bos. Bukan sebagai penolong, seperti yang dilakukan Pak Jar pada keluargaku, memberikan pertolongan saat orang lain membutuhkannya.
Sore itu juga, aku menziarahi juga kubur Pak Jar, setelah mencari informasi dari anaknya. Bagaimanapun, pak Jar mengantar langkahku sampai sekarang. Dari langkah sepatu kecilku turun dari gendongan ibu hingga aku dewasa.
*Mathoril Hudha
*Mathoril Hudha